YP3R SAMARINDA

Photobucket

Semboyan 7 K

Photobucket Photobucket

Jumat, 25 April 2008

UN, Munculkan Budaya Instan

UN, Munculkan Budaya Instan
Ditulis oleh : Sudaryanto, Direktur Pusat Studi Penalaran dan Kepenulisan (Puspek) Yogyakarta

Ujian Nasional (UN) kembali digelar. Pada 22-24 April ini UN dilaksanakan pada tingkat SMA dan sederajat. Meski hingga kini masih jadi polemik, UN tetap jalan terus. Padahal, pemerintah telah digugat melalui mekanisme gugatan warga negara alias citizen law suit atas kasus UN. Yang jadi soal ialah mengapa pemerintah tetap bersikeras melaksanakan hajatan nasional itu?

Mari kita cermati. Dalam konteks UN, pemerintah dianggap lalai dan patut digugat dalam hal pemenuhan hak atas pendidikan dan perlindungan hak anak. Pasalnya, akibat UN hak anak untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya jadi hilang. Di sinilah, saya kira awal pengebirian akan ruh pendidikan yang mengedepankan pembebasan terjadi. Siswa menjadi sosok terpenjara, serta terlalu diarahkan untuk cenderung jago menghafal.

Bahkan, sejumlah guru berpendapat bahwa UN kurang selaras dengan proses pembelajaran di dalam kelas. Mungkin di sisi lain, UN dapat menjadi standar minimal dan menjadi alat pacu pembelajaran, seperti dinyatakan Dirjen Mandikdasmen Prof Suyanto beberapa waktu lalu. Namun, dalam upaya peningkatan kompetensi dan kualitas peserta didik, sekali lagi UN tidak sepenuhnya selaras. Benarkah demikian?

Bagi guru bahasa Indonesia, misalnya, pembelajaran diarahkan untuk meningkatkan kompetensi berkomunikasi dalam mendidik. Sekurangnya empat kompetensi berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, menulis) dapat tercapai. Namun dalam UN kemampuan yang diujikan berbeda dengan pembelajaran harian karena menekankan kepada hal teoretis. Bentuk UN berupa pilihan ganda membuat siswa cenderung menghafal.

Alhasil, sejak di kelas tiga sudah ada pendalaman dan pengayaan materi, seperti latihan soal UN. Ditambah model soal UN yang cenderung monoton, gejala siswa menghafalkan model soal UN makin besar. Jadi, penilaian yang digunakan dalam UN memang cenderung kognitif (!). Sementara dua aspek lainnya, afektif dan psikomotorik, jadi terabaikan. Apakah hal itu luput dari perhatian pemerintah?

Jika jawabnya ya, berarti kebijakan UN layak ditinjau ulang. Berarti pula, komitmen pemerintah terhadap pendidikan perlu kita pertanyakan. Pasalnya, selama ini ketika UN sudah berlalu, hasilnya terhenti di pusat tanpa ada perbaikan lebih lanjut. Padahal, idealnya sebuah hasil evaluasi (baca: UN) ditelaah dan kemudian dirumuskan melalui aksi kegiatan yang bervisi peningkatan mutu guru dan para siswa.

Namun, realitasnya, UN justru tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu di sekolah. Apalagi jika standar pelayanan minimal kepada seluruh sekolah belum terpenuhi. Kalau itu dipaksakan, hasil UN tidak lebih dari data statistik yang sifatnya semu, tidak mencerminkan proses belajar-mengajar yang terstruktur. Meski pun ada kebijakan bahwa soal UN diserahkan untuk tiap-tiap sekolah, UN tetap saja menjadi alat penentu kelulusan bagi siswa.

Dengan begitu, siswa selama ini malah terpacu untuk menyiasati soal-soal ujian sehingga yang justru muncul budaya instan. Para siswa berpikir tunggal: mereka rajin belajar untuk cari selamat agar bisa lulus. Demikian pula para guru. Bahkan, kalau perlu mereka bisa menghalalkan segala cara. Tidak heran setiap tahun selalu terjadi aksi-aksi kecurangan yang membayangi UN. Apakah ini efek dari pelaksanaan UN itu?

Pada hemat saya, guna mengantisipasi terjadinya kecurangan dalam UN, pemerintah perlu menyadari satu hal. Bahwa, otoritas mereka dalam UN perlu dikurangi. Caranya? Agar lebih adil, ujian sekolah dan hasil evaluasi guru tetap dinilai dan menjadi penyeimbang terhadap UN. Jika porsi nilai UN itu 50%, 50% sisanya porsi nilai dari hasil ujian sekolah dan evaluasi guru. Konsep ini dirasa lebih adil bagi semua pihak, terutama siswa.

Tak hanya itu, dengan konsep di atas (jika betul-betul diterapkan) pemerintah dianggap telah paham akan substansi Pasal 58 UU Sisdiknas. Bahwa, evaluasi hasil belajar merupakan kewenangan guru/sekolah, dan bukan kewenangan pemerintah. Namun, ini pun mengandung konsekuensi bahwa sekolah harus mau serius: untuk bertindak jujur. Jujur dalam penilaian dan tidak berbuat katrol-katrolan nilai.

Karenanya, ketika wewenang kelulusan berada pada sekolah, itu tidak menyalahi apa pun, termasuk UU Sisdiknas. Tapi, yang jadi pertanyaan kita sekarang apakah pemerintah mau memahaminya? Jika niat pemerintah ingin mendongkrak mutu pendidikan, mengapa mesti mengambil jalan pintas melalui UN? Alangkah bijaksananya jika pemerintah berupaya keras menegakkan fungsi akreditasi sekolah. Apa pasal?

Saya kira, dengan fungsi tersebut, dengan sendirinya sekolah akan terpacu untuk memenuhi standar pelayanan minimal, termasuk standar proses belajar-mengajar. Bukan itu saja, dijadikannya UN sebagai penentu kelulusan dengan sendirinya pula meresahkan siswa dari kalangan tidak mampu, karena mereka secara ekonomi tidak punya akses mempersiapkan diri menghadapi dan menyiasati soal-soal dalam UN.

Memang, pemerintah selalu berkata bahwa UN bukan satu-satunya penentu kelulusan. Tapi pada kenyataannya, sekolah tetap menjadikan UN sebagai penentu kelulusan. Jika demikian halnya, kita berkesimpulan; kebijakan UN perlu dikaji ulang! Bukan apa-apa, alih-alih membangun kultur dan semangat belajar yang kukuh, yang terjadi justru pembodohan lewat pengerjaan soal-soal yang diprediksi muncul dalam UN.

Pungkasnya, apabila tahun 2009 UN tetap ada, kiranya pemerintah tidak lagi menetapkan UN sebagai penentu kelulusan dan pendongkrak mutu. Pasalnya, setiap kali muncul polemik UN, pemerintah selalu berdalih itu. Tapi, nyatanya upaya-upaya konkret, seperti pemberdayaan mutu guru dan perbaikan sarana/prasarana di sekolah belum terlihat. Semoga pemerintah menyadari perbuatannya yang keliru itu. Tapi, siapa yang berani menolak UN? Anda?

0 komentar: